Thursday, November 25, 2010

Menang Ala Spartacus


Spartacus: Blood and Sand adalah sebuah sajian serial TV yang mengangkat kehidupan para gladiator. Inspirasi Sejarah Zaman Spartan

Sejarah Spartacus

Menurut catatan sejarahnya (http://www.suite101.com/), Spartacus dilahirkan di Thrace, sebuah wilayah Eropa yanag sekarang terdiri dari bagian Yunani modern, Bulgaria, dan Turki. Pada suatu kurun waktu Spartacus menjadi budak dan tinggal di sebuah Ludus (Roma sekolah gladiator) di Capua. Ludus ini dimiliki oleh Gnaeus Cornelius Lentalus Batiatus (atau Vatia). Di tempat inilah Spartacus menjalani masa-masa berat dan gawat.Spartacus seperti juga para gladiator lainnya, selama di ludus menjalani pilihan hidup-mati. Saat berhadapan dengan lawan, pilihannya hanya dua: membunuh atau dibunuh.

Gladiator: Budak Nafsu
Menyaksikan TV-serial ini, kita akan disuguhi adegan berdarah-darah. Maut datang menjemput para gladiator naas setiap ada pertunjukan. Jelas, pertunjukan! Gladiator adalah pertunjukan yang disaksikan masyarakat pada waktu itu sebagai hiburan belaka. Masyarakat yang menyalurkan birahi membunuh melalui teater arena; yang datang secara bebas berekspresi, terutama dalam hal menyoraki kebrutalan para gladiator, selebihnya mereka juga ditampilkan ada yang sambil melakukan hubungan badan atau memertontonkan auratnya sebagai reaksi terhadap sebuah adegan atraktif (baca: sadis).Gladiator secara riil adalah budak sosial. Mereka sudah dibeli. Tetapi juga sebagai objek budak nafsu publik dan privasi yang menguasainya.

Bila dilihat dari sudut pandang para gladiator, sungguh menerenyuhkan. Menghadapi hari-hari dijemput maut atau menjadi penjemp-ut maut lawan, padahal mereka juga masing-masing memiliki masalah pribadi. Tertinggal dengan kekasih, istri dan atau anak.

Pada sisi lain, gladiator yang jantan secara biologis, ternyata juga ada yang jadi peliharaan istri elitis di ludus. Termasuk istri Batiatus, pemilik ludus. Batiatus adalah tokoh antagonis yang dikelilingi oleh para pelicik yang berdarah dingin. Istrinya, yang lacur dan haus kekayaan serta gila hormat, serta makelar kasus jual beli manusia dan taktik.

Spartacus sendiri selama menjalani masa hidup-mati di ludus, dia dipisahkan dari istrinya, Sura. Itulah sebabnya, Spartacus mengajukan persyaratan bahwa kalau dia berhasil membunuh lawan yang pada waktu itu tanpa tanding, meminta agar istrinya yang diculik oleh Claudius Glaber, pemimpin militer Roma yang telah melemparkan Spartacus ke ludus dan menjual istrinya sura sebagai budak di Syiria, di datangkan.Batiatus berkat kaki-tangannya yang handal telah mengetahui keberadaan Sura. Sehingga menyanggupi permintaan Spartacus.

Betul, Spartacus berhasil mengalahkan (membunuh) lawan tangguh, Batiatus mengabulkan permintaan Spartacus. Sura pun didatangkan. Melalui sebuah pedati (roda) bertingkap Sura tiba. Pedih hati Spartacus, saat dia membuka tingkap, Sura disaksikannya dalam keadaan berdarah-darah parah dan sekarat, yang menurut penjempuutnya karena telah dibantai penjahat di perjalanan. Sura dijemput maut dipelukan Spartacus.

Spartacus dari Tokoh Pribadi ke Tokoh Publik
Sejak saat itu harapan Spartacus tidak lagi sekadar bagaimana menjadi manusia yang bebasuntuk mendapatkan kembali Sura. Suatu hal yang lebih besar dibanding dengan sekadar memeroleh kekasih pribadi. Proses itulah yang membawa Spartacus ke tingkat yang lebih tinggi. Dari berjuang untuk diri sendiri ke tingkat berjuang untuk kepentingan bersama, para gladiator dan budak lainnya. Kemerdekaan komunitas. Spartacus kemudian juga menemukan fakta bahwa Sura mati, ternyata di bawah skenario maut Batiatus yang tak rela melepas Spartacus.Sebab sebagai gladiator tangguh Spartacus adalah lumbung koin kemakmurannya. Setiap Spartacus menang, maka Batiatus juga menang taruhan.

Sampai....tiba saatnya. Dalam sebuah adulaga antara Spartacus dengan lawan dan kawan tangguhnya Crixius, setelah tanding beberapa jurus yang seru; disambut soraai Batiatus dan para tamunya, Spartacus dan Crixius lantas memungkasnya dengan adegan berbalik perlawanan terhadap Batiatus beserta pasukan dan kakitanganya. Pemberontakan tersebut berhasil. Batiatus, istri dan ponggawanya punah dibantai.

Menurut perawiannya. Masa Spartacus tersebut terjadi pada tahun 73 SM. Tahun kejadian ini penting dicatat, sebab adegan dan bahasa yang ditampilkan di film televisi ini dikatakan menggambarkan saat itu. Adegan "parno", muncul di sana-sini secara benderang. Maka, filem ini hanya pantas untuk ditonton orang dewasa. Kecuali ada upaya sensor. Tetapi bila untuk kepentingan dasaran sejarah cukup diintroduksikan, bahwa filem ini juga bermuatan fakta sejarah, maka pornografi tersebut tidak ada. Sebab begitulah faktanya, di waktu abad itu. Kehidupan spartan di ludus adalah kehidupan kedagingan.

Hal yang penting dicamkan dari seri televisi yang mencapai 13 episode ini (Spartacus: Blood and Sand) adalah lepas dari teknik penggarapannya masih di bawah kualitas filem laga Ninja Assassin, adalah kisah keteguhan Spartacus. Wataknya yang gigih dan tenang, walaupun sadis saat menghadapi lawan, menginspirasi para petarung saat ini. Entah di ranah politik maupun ekonomi.Terutaama di dalam menghadapi para lawan yang licik dan berdarah dingin. Pentingnya kesabaran walaupun dalam posisi kuat, dalam menjalankan konsolidasi serta penetapan waktu pengambilan keputusan adalah kunci keberhasilan. Spartacus, menang bukan semata ketangguhan otot belaka, melainkan otak. (***).

Oleh The Indit 

Sunday, November 7, 2010

Perang: Instrumen Pelaksana Agenda Demokrasi Amerika


I.                   Pendahuluan
Adalah sebuah perjalanan panjang memetakan sejarah peperangan Amerika Serikat (AS), dimana AS berperan sebagai aktor utama ataupun pendukung dalam skenario peperangan dunia. Perang merupakan suatu bencana ciptaan manusia yang membutuhkan konsekuensi besar, sebab tidak hanya menghabiskan anggaran dana jutaan dolar juga terpenting adalah hilangnya ratusan ribu nyawa dalam sekejap. Hal ini berdampak pada kehancuran nilai kemanusiaan bahkan peradaban yang beradab.
Bagi AS perang seperti menjadi obsesi dan agenda tetap, memiliki musuh atau tidak, pertahanan demi kemanan untuk siap berperang kapan saja, haruslah tetap menjadi anggaran dan agenda nasional nomor satu AS. Fenomena sikap mengutamakan penggunaan hardpower dalam kebijakan luar negeri AS ini menimbulkan sekelumit pertanyaan yang ingin diungkap penulis; mengapa AS berperang dan selalu siap berperang?; apa sebenarnya yang mendasari pemikiran AS serta apa implikasinya bagi AS secara khusus dan dunia internasional secara umum? Penulis berpendapat bahwa kecenderungan penggunan kekuatan militer oleh AS dalam praktek kebijakan politik luar negerinya adalah untuk memaksakan kehendak dan kepentingan AS dalam bidang politik dan ekonomi.

II.                Pembahasan
Kemunculan AS sebagai pemenang dalam Perang Dunia ke-II menjadikan AS negara superpower. Pemikiran pascaperang inilah yang membentuk karakter politik AS yang baru yang sebelumnya isolationism menjadi global activism. Sikap politik ini lahir dari pemikiran pemimpin-pemimpin AS bahwa adalah tanggung jawab AS sebagai pemimpin dunia untuk terlibat dalam setiap permasalahan yang ada di dunia. (Kegley dan Wittkopf, 1996: 1)
Tercatat setidaknya terdapat 234 kasus sejak tahun 1798 – 1993 dimana AS menggunakan kekuatan militernya untuk menyelsaikan konflik ataupun keadaan berpotensi konfik dengan tujuan untuk melindungi rakyat AS maupun melancarkan kepentingan AS. (Collier, 1993) Jumlah ini belum termasuk beberapa perang lain seperi Perang Sipil dan Perang Revolusi, terutama perang yang diakibatkan setelah Penyerangan 9/11.

-          Perang sebagai Ideologi
Pada masa kepemimpinan Wodrow Wilson AS berperang melawan Jerman pada tahun 1917 dengan tujuan untuk menciptakan “a world safe for democracy”. Kemudian, keterlibatan AS pada Perang Dunia II oleh Franklin D. Roosevelt adalah suatu upaya untuk menegakkan “four freedom—freedom of speech and expression, freedom of worship, freedom from want, and freedom from fear”. Setelah itu, dibawah kepemerintahan George Bush peran AS sebagai pemimpin dunia semakin dipertegas dengan menyatakan bahwa adalah tanggung jawab AS untuk memimpin dunia dari kepemimpinan yang diktator (Kegley dan Wittkopf, 1996: 1-2).
Kekuasaan AS pascaperang menjadidi titik penentu sikap AS dalam menghadapi permasalahan dunia ke depan. AS menjalankan politik intervensi ke negara lain jika dianggap tidak sesuai dengan ideologi AS. Komunisme diperangi pada masa Cold War, sehingga Uni Soviet menjadi musuh terbesar AS pada periode itu. Perang di Vietnam dan Cina adalah usaha untuk membendung penyebaran pengaruh komunis.
Pemikiran politik global aktivisme AS adalah untuk menciptakan kepemimpinan dunia berdasarkan kepentingan dan nilai Amerika: peace and prosperity, stability and security, democracy and defence (Kegley dan Wittkopf, 1996: 7). AS menjadi kekuatan dominan dalam percaturan politik dunia. Kekuasaan dan kemenangan pascaperang menjadi candu dan obsesi bagi AS yang ingin terus menunjukkan posisinya di mata dunia sebagai pemimpin dunia. Kebijakan intervensi AS menampakkan idealisme Wilsonian; Wilsonian idealism gave way to the doctrine of political “realism” which focused on power, not ideals. (Kegley dan Wittkopf, 1996: 3). Apakah nilai-nilai negara AS tersebut sejalan dengan praktik penggunaan hardpower dalam menjalankan politik luar negerinya?
AS didasari oleh nilai demokrasi. Demokrasi merupakan nilai kehidupan yang seyogyanya menjunjung tinggi kebersamaan dan persamaan hak, kebebasan berpendapat, dan memilih dalam masyarakat. Tetapi dalam praktek kebijakan luar negerinya, nilai-nilai ini hanya sekadar menjadi slogan yang kehilangan makna. Doktrinisasi dilancarkan oleh pemimpin AS terhadap bangsanya agar mendapatkan dukungan penuh. Nilai kebersamaan bagi AS adalah selama pandangan politik negara lain sejalan dengan AS. Dalam praktek kebijakan luar negerinya AS sering mengatasnamakan kepentingan negara dan bahkan dunia internasional karena nilai negara AS diyakini bersifat universal.
“Our shared values are essential because they link America to the world. The belief that American values are universal values—that all men and women are created equal, that all are entitled to life, liberty and the pursuit of happiness, regardless of race, creed, or nationality—connects us to other nations.”
—Anne-Marie Slaughter,
The Idea That Is America: Keeping Faith
With Our Values in a Dangerous World, 2007 (Lord, 2008: 4)

Demokrasi dalam kehidupan bernegara bermakna menghargai pilihan suatu negara menjalani kehidupannya berdasarkan potensi dan kepentingan masing-masing negara yang berbeda. Maka dalam pelaksanaan demokrasi tidak membenarkan adanya pemaksaan apalagi menggunakan kekerasan. Amerika sering menggunakan kekuatan militernya untuk memaksakan penyebaran demokrasi ke seluruh dunia, hal ini tentu jauh dari hakekat demokrasi yang dicita-citakan setiap insan di dunia sebab peperangan dapat berakibat pada hancurnya suatu peradaban. Dengan demikian, demokrasi bagi AS hanyalah menjadi instrumen pembenaran. Perang berada pada level ideologi bagi AS dalam praktik kebijakan luar negerinya.
Dampak dari sikap AS ini adalah semakin tingginya kebencian masyarakat dunia terhadap AS dari tahun ke tahun. Hasil dua kali survey The Pew Research Center (Vankin, 2006: 14-16) di tahun 2002 dan 2006 secara global, menunjukkan bahwa mayoritas responden menganggap AS adalah ancaman terbesar bagi perdamaian dunia—jauh lebih besar daripada Irak atau Cina. Bahkan  Theodore Millon dalam "Personality Disorders of Everyday Life" menyebutkan,
“the United States as the quintessential narcissistic society. Narcissism is frequently comorbid with paranoia. Americans cultivate and nurture a siege mentality which leads to violent acting out and unbridled jingoism. Their persecutory delusions sit well with their adherence to social Darwinism (natural selection of the fittest, let the weaker fall by the wayside, might is right, etc.).

-          Perang sebagai Industri
Senjata merupakan buah revolusi industri. Industri menentukan perkembangan perekonomian. Dan untuk mempertahankan jalannya industri syaratnya adalah suplay dan demand haruslah tetap ada dan seimbang, maka perlu menciptakan suasana yang kondusif. Amerika tidak hanya berperan dalam pengadaan tetapi juga menciptakan kebutuhan sekaligus. Dengan menciptakan perang di dunia, maka permintaan dunia akan senjata akan terus meningkat.
Amerika penganut sistem ekonomi campuran dan kecenderungan sistem ini adalah penguasaan pasar. Perekonomian Amerika adalah salah satu terpenting di dunia, dan ini ditentukan pula oleh industri militernya. Hal lainnya adalah peperangan mampu menyediakan ribuan lapangan pekerjaan bagi masyarakat AS (dalam usia produktif) dan menghidupkan industri pabrik persenjataan sehingga perekonomian mampu berjalan. Dengan demikian, ini akan berdampak bagi pasar dunia. Bagaimana perang menjadi industri yakni dengan menjadikannya populer di mata masyarakt. Tak terhitung jumlah produksi film AS yang berlatar perang, gengster, ekspor senjata , hingga bahkan superhero. Tontonan kekerasan dan penggunaan senjata dalam kehidupan nyata masyarakt AS menjadi hal biasa tetapi demikian luar biasa fenomenalnya hingga berpengaruh bagi budaya dan gaya hidup masyarakat global.
Militerisasi dengan cara memopulerkannya akan mudah diterima masyarakat, dan perang seiring waktu menjadi hal yang biasa dan bahkan dianggap sebagai agenda yang sudah direncanakan meskipun sebenarnya tidak dibutuhkan. Populernya film-film menggunakan senjata meskipunn ending ceritanya dimenangkan oleh kebaikan atau pahlawan, tetapi hadirnya industri ini mengajarkan orang untuk menggunakan kekerasan demi mencapai suatu tujuan.
Industri militer ini disebut sebagai Military-Industrial Complex, karena industry ini bersifat saling mendukung antara dinas pertahanan dan korporasi industri yang menyuplai senjata beserta barang-barang lain ke kemiliteran dengan kontrak-kontrak rahasia (Tempointeraktif.com, 05 Januari 2009). Keberlangsungan industri ini bergantung dari kontrak militer. Sehingga, industri militer dan pertahanan mempengaruhi tidak hanya kebijakan luar ngeri tetapi juga ekonomi.
Memiliki Kekuatan militer bagi AS berarti memiliki kemampuan untuk mempertahankan negara sekaligus memiliki kekuasaan tanpa batas untuk menjalankan kebijakan pemerintahannya meskipun dengan cara memksakan kehendaknya terhadap negara-negara lain di dunia demi kepentingan nasionalnya.  
Demi menyuburkan kekuatan militernya AS mengeluarkan dana yang sangat besar untuk anggaran militer, bahkan menjadikannya sebagai negara dengan anggaran militer terbesar di dunia. Perhatikan tabel berikut.
Spending figures are in US$, at current prices and market exchange rates.
Rank
Country
Spending
($ b.)
World share (%)
Spending
per capita ($)
Share of GDP,
2007 (%)a
Change,
1999–2008 (%)

1
USA
607
41.5
1967
4.0
66.5
2
China 
[84.9]
[5.8]
[63]
[2.0]
194
3
France 
65.7
4.5
1061
2.3
3.5
4
UK
65.3
4.5
1070
2.4
20.7
5
Russia
[58.6]
[4.0]
[413]
[3.5]
173

Sub-total top 5 
60



[ ] = estimated figure; GDP = gross domestic product.
a The figures for national military expenditure as a share of GDP are for 2007, the most
recent year for which GDP data is available.
b The figures for Saudi Arabia include expenditure for public order and safety and might be
slight overestimates.
Source: Military expenditure: SIPRI Yearbook 2008: Armaments, Disarmament and
International Security (Oxford University Press: Oxford, 2008), Appendix 5A.

Besarnya anggaran ini memotong anggaran lain yang mestinya teralokasikan dengan
sebagaimana mestinya, seperti dana kesehatan yang menjadi permasalahan terbesar AS. Hal terpenting untuk dikemukakan di sini adalah konsekuensi dari industri militer ini yang digunakan utnuk berperang.
“Worldwide conflicts during the 1945-2000 period are thought to have caused 25 million deaths and 75 million serious injuries, but many of these were fought under the shadow of the Cold War and included Korea, Vietnam, Afghanistan and the Horn of Africa. Such proxy wars caused around 10 million deaths and 30 million serious injuries. The idea that the Cold War was a period in which nuclear weapons kept the peace is a myth.”
(Abbott dkk, 2006: 21)
-  Perang melawan terorisme
September 2002, setahun pasca peristiwa 11 September 2001, Gedung Putih mengeluarkan dokumen penting The National Security Strategy of the United States of America (Foreign Affairs, September-Oktober 2002) yang berisi AS ingin menjadi polisi dunia dan akan bertindak unilateral dalam menghadapi ancaman teroris serta senjata pemusnah massal, bila negara-negara lain tidak bersedia diajak serta. AS juga akan menggunakan kekuatan militernya untuk mengatur tatanan global. George W Bush sendiri sudah menyatakan, Serangan 11 September 2001 telah memaksa AS mengeluarkan konsep keamanan nasional baru, yang dikenal dengan preemptive strike. Jadi, Peristiwa 11 September sengaja direka untuk menjadi justifikasi lahirnya politik luar negeri baru AS; Doktrin Preemptive Strike. (www.hizbut-tahrir.or.id, 07 February 2006)
Implikasi dari kejadian ini,
“Since 9/11 this has cost the US government an estimated $357 billion in military operations, reconstruction, embassy costs and various aid programmes in Iraq and Afghanistan, and for enhanced security at military bases around the world. However, the human cost has been infinitely higher. In Iraq, now on the brink of civil war, at least 40,000 civilians and thousands of Iraqi military and police have been killed as a result of the invasion. To date the US has suffered nearly 2,500 military fatalities in Iraq, with nearly 18,000 thousand troops wounded in action and a similar number evacuated because of non-combat injuries and severe physical or mental health problems. In Afghanistan, while the Taliban may have been ousted from power, more innocent civilians were killed as a direct result of military action there than died in the 9/11 attacks that prompted the US-led invasion. In the two conflicts, the number of civilians seriously injured is likely to be in the region of one hundred thousand, and tens of thousands have been internally displaced.
.It was hoped by the planners in Washington and London that the removal of Saddam Hussein and the spreading of democracy to Iraq would eventually vindicate their policy of pre-emption. However, it has become clear that ‘democracy’ in this instance actually means the privatisation of state-run industries, plus elections. The US policy of detention without trial of “unlawful combatants” in Guantanamo Bay; the widespread and deliberate bombing of civilian infrastructure in Afghanistan and Iraq; the abuse and torture of prisoners at the Abu Ghraib prison; and the destruction of Fallujah, the “city of mosques”, are just four more of the injustices of the ‘war on terror’ – injustices widely reported across the Muslim world, further adding to the sense of oppression and marginalisation (Islamic militants often also cite Chechnya, Kashmir and Palestine as further examples of Western oppression of Muslims).” (Abbott dkk, 2006: 18-19)
Fenomena ini mengundang kebencian warga dunia terhadap kebijakan politik luar negeri AS. Banyak intelektual berpendapat bahwa AS adalah musuh sebenarnya yang jauh lebih mengancam daripada ancaman teror internasional itu sendiri. Ini disebabkan oleh intervensi yang dilakukan AS ke berbagai negara di dunia dengan menggunakan kekuataan militer. Sikap AS ini semakin memarginalisasi dan menjajah bangsa lemah. Melumpuhkan pemerintahan dan perekonomian bangsa lain sehingga semakin memiskinkan. Ketidakadilan inilah yang memicu penyebaran terorisme di mana-mana serta munculnya kelompok radikal yang anti-amerika.
Keinginan AS untuk memimpin dunia baik secara politik maupun ekonomi, berkompetisi untuk mendapatkan sumber kekayaan alam serta menyebarkan ideologi AS terbukti sering dipaksakan dengan cara menggunakan perang sebagai instrumennya.
Pada bagian akhir pembahasan ini penulis ingin menambahkan sebuah kutipan wawancara yang bagi penulis adalah jawaban terbaik dalam menyikapi segala permasalahan dunia.

QUESTION: Should a power follow a human rights policy?
CHOMSKY: I don't think that any power ever will. I think that the only way in which
more humane policies can be imposed on the great powers is by mass popular movements
of their citizens. So, for example, the peace movement was one of the factors that forced
the United States to restrain what would otherwise have been a much more intensive
assault against Vietnam. The civil rights movement caused American power to make
moves that ameliorated the situation of oppressed minorities. That's the way to press
power towards human rights concerns. There's no other way.
("On human rights and ideology" Noam Chomsky interviewed by Jeff Sellars, October 1979)

III.             Kesimpulan
Keinginan AS untuk menjadi pemimpin dunia baik dalam bidang politik maupun ekonomi menjadikan AS sebagai ancaman terbesar bagi perdamaian dunia karena terbukti AS sering menggunakan kekuatan militer dalam pelaksanaan kebijakan politik luar negerinya. Perang menjadi ideologi bagi AS sehingga menjaga kekuatan militernya adalah kunci untuk menjaga posisi AS di mata dunia. AS sering bersifat agresif dan memaksakan kehendaknya disebabkan oleh anggapan bahwa pada prinsipnya nilai kenegaraan AS bersifat universal yang selaras dengan tujuan dan nilai universal di dunia, sehingga negara lain haruslah sependapat dengan segala tindakan dan kebijakan AS, jika tidak ingin dianggap musuh dan kemudian diperangi.
Perang bertentangan dengan nilai humanisme. Pelanggaran hak asasi manusia dan teror AS terhadap bangsa-bangsa lain di dunia menjadikan AS dikenal sebagai bangsa yang besar karena menjadi negara penghancur peradaban dan nilai kemanusiaan, jauh dari cita-cita dan nilai luhur demokrasi yang hakiki.

Thursday, November 4, 2010

Hillary Clinton Simbol Perubahan

Hillary R. Clinton

Hillary Rodham Clinton
Simbol Perubahan Peranan Perempuan di Amerika

Berbicara tentang perubahan peran perempuan di Amerika abad ke-20 hingga ke-21 ini, maka kita harus membicarakan Hillary Rodham Clinton. Peran Hillary sangat memberi kontribusi besar dalam perubahan perspektif fungsi dan tanggung jawab perempuan Amerika di dalam masyarakat, terlebih dalam ranah politik, bidang yang kemudian menjadi pilihan karirnya. Untuk membahasnya lebih jauh, berikut adalah profil, perjalanan karir serta kehidupan Hillary Rodham Clinton. 

  Profil dan Karir Hillary Rodham Clinton
Hillary Rodham Clinton lahir pada tanggal 26 Oktober 1947 dan saat ini menjabat sebagai Sekretaris Negara Amerika Serikat ke-67, di bawah kepemerintahan Presiden Barack Obama. Hillary adalah seorang Senator Amerika Serikat untuk New York tahun 2001-2009. Ia juga adalah istri Presiden ke-42 Amerika Serikat, Bill Clinton, yang menjadikannya sebagai First Lady Amerika Serikat di tahun 1993-2001. Dalam pemilihan 2008, Hillary menjadi kandidat utama nominasi presiden Partai Demokrat.
Pada tanggal 21 Januari 2009, Hillary Rodham Clinton disumpah sebagai Sekretaris ke-67 negara Amerika Serikat. Ia bergabung dengan Departemen Luar Negeri setelah hampir empat dekade di pelayanan publik sebagai advokat, pengacara, First Lady, dan Senator.
Hillary merupakan lulusan Wellesley College dan Yale Law School, dimana ia bertemu dengan Bill Clinton. Ia memulai karir di bidang hukum setelah lulus dari Yale Law School pada tahun 1973. Pada tahun 1974, ia kemudian pindah ke Arkansas, setahun kemudian, 1975, menikah dengan Bill Clinton dan menjadi seorang pengacara sukses disamping juga mengasuh putri mereka, Chelsea. Hillary adalah asisten profesor di University of Arkansas School of Law, dan setelah bekerja untuk memperkuat kantor bantuan hukum setempat ia ditunjuk oleh Presiden Jimmy Carter pada tahun 1977 untuk mengabdi di dewan Legal Services Corporation, yang kemudian diketuainya dan sekaligus menjadikan Hillary sebagai perempuan pertama dalam jabatan penting tersebut di tahun 1978. Selain itu, Hillary juga menjadi partner perempuan pertama di Rose Law Firm tahun 1979, dan dua kali tercatat sebagai salah satu dari 100 Pengacara Paling Berpengaruh di Amerika.
Selama 12 tahun (1979-1981 dan 1983-1992) Hillary menjabat sebagai First Lady negara bagian Arkansas dengan Bill Clinton, suaminya, sebagai Gubernur. Hillary mengetuai Arkansas Education Standards Committee menjadi salah satu pendiri The Arkansas Advocates for Children and Families, dan mengabdi di beberapa dewan The Arkansas Children's Hospital dan The Children's Defense Fund.
Pada tahun 1992, Gubernur Bill Clinton terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat, dan sebagai First Lady, Hillary R. Clinton menjadi penganjur reformasi kesehatan dan bekerja di berbagai isu yang berkaitan dengan anak-anak dan keluarga. Dia memimpin upaya bipartisan sukses untuk meningkatkan adopsi dan sistem anak asuh, mengurangi kehamilan remaja, dan menyediakan pelayanan kesehatan bagi jutaan anak-anak melalui Program Asuransi Kesehatan Anak (Children's Health Insurance Program). Dia juga melakukan perjalanan ke lebih dari 80 negara sebagai wakil dari negara Amerika Serikat, memenangkan penghargaan sebagai pemenang hak asasi manusia, demokrasi dan masyarakat sipil (champion of human rights, democracy and civil society). Pidatonya yang terkenal di Beijing pada tahun 1995 ketika ia menyatakan bahwa "hak asasi manusia adalah hak-hak perempuan, dan hak-hak perempuan adalah hak asasi manusia" – telah menginspirasi perempuan di seluruh dunia dan membantu menggembleng gerakan global untuk hak-hak perempuan.
Bersama Sekretaris Negara Madeleine K. Albright, Hillary bekerja untuk memulai The Government’s Vital Voices Democracy Initiative. Sekarang Vital Voices adalah organisasi non-pemerintah yang terus melatih dan mengelola pemimpin-pemimpin perempuan di seluruh dunia.
Pada tahun 2000, Hillary Clinton mencatat sejarah sebagai First Lady pertama yang terpilih menjadi anggota Senat Amerika Serikat, dan wanita pertama yang terpilih di seluruh negara bagian di New York. Dalam Senat, ia bertugas di The Armed Services Committee, The Health, Education, Labor and Pensions Committee, The Environment and Public Works Committee, The Budget Committee and The Select Committee on Aging. Dia juga menjabat sebagai Komisaris pada Komisi Keamanan dan Kerjasama di Eropa (the Commission on Security and Cooperation in Europe).
Sebagai Senator, Hillary R. Clinton bekerja lintas partai untuk membangun dukungan demi misi penting konstituen dan negara, termasuk perluasan kesempatan ekonomi dan akses terhadap kualitas serta perawatan kesehatan yang terjangkau.
Setelah serangan teroris 11 September 2001, Hillary menjadi advokat kuat untuk pendanaan pembangunan kembali di New York dan pemerhati masalah kesehatan para relawan yang mempertaruhkan hidup mereka yang bekerja di Ground Zero. Ia juga memperjuangkan misi militer Amerika Serikat dan berjuang untuk perawatan kesehatan yang lebih baik selain juga memperhatikan kebutuhan anggota pelayanan yang terluka, veteran dan anggota The National Guard and Reserves. Ia juga satu-satunya anggota Senat dari Transformasi Advisory Group pada Department of Defense's Joint Forces Command.
Pada tahun 2006, Hillary memenangkan kembali pemilihan di Senat, dan pada tahun 2007 ia memulai kampanye bersejarahnya untuk maju sebagai Presiden. Pada tahun 2008, ia berkampanye untuk pemilihan pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Barack Obama dan Joe Biden, dan pada bulan November dia dicalonkan oleh Presiden Terpilih Barack Obama menjadi Sekretaris Negara.
Hillary R. Clinton adalah penulis buku terlaris, termasuk otobiografinya, Living History, dan buku inovatifnya tentang anak-anak, It Takes A Village.
Hillary yang terpilih sebagai Senator Amerika Serikat tahun 2000 menjadikannya sebagai First Lady Amerika pertama yang mengikuti pencalonan dalam jabatan publik. Dalam perlombaan pencalonan presiden pada tahun 2008, Hillary menang dengan perwakilan suara terunggul daripada kandidat perempuan manapun dalam sejarah Amerika, tetapi kalah tipis dari senator Barack Obama. Selain itu sebagai Sekretaris Negara, Hillary Clinton menjadi mantan First Lady pertama yang mengabdi dalam kabinet presiden. 

Tantangan Hidup yang Dihadapi Hillary  
Banyak hal yang bisa dipelajari dari sosok Hillary R. Clinton. Hal pertama yang bisa diamati adalah keputusan Hillary yang memilih untuk pindah ke Arkansas untuk mendukung karir politik Bill Clinton dan mengorbankan karirnya sendiri yang tengah bersinar. Ini bisa dikatakan sebagai konsekuensi dari mengikuti kata hatinya, karena ia sangat mencintai Bill. Tidak hanya itu, perannya kemudian sebagai First Lady of America membuat Hillary sangat terbatas melakukan aktivitas ataupun berkarir sesuai keinginannya seperti sebelumnya. Ia rela mengesampingkan cita-citanya, karirnya yang gemilang, demi mendukung profesi suaminya. Hal ini juga terjadi pada hampir setiap First lady di Amerika. Seperti juga Michelle Obama, Hillary, meskipun sudah memiliki karir yang sukses, yakni seorang pengacara, tetapi sebagai First Lady, ia memilih untuk membidangi urusan anak-anak atau keluarga, yang artinya tidak beranjak dari stereotype umum, bahwa perempuanlah yang bertanggung jawab mengurusi urusan keluarga dan anak, sementara laki-laki dianggap lebih kapabel untuk mengurusi persoalan politik.
Hal ini sebenarnya sudah menggambarkan bagaimana perempuan Amerika masih tersubordinasi, dan masih dianggap sebagai pelengkap kaum lelaki. Sebagai istri, seorang First Lady harus ikut pindah dan tinggal di Gedung Putih dan aktivitas yang sebelumnya dilakukan menjadi sangat terbatas dan terkontrol demi mendukung tugas dan karir suami. Dalam posisi yang paling tertinggi sekalipun, sebagai istri orang nomor satu di negara adidaya Amerika Serikat, perempuan tetap saja tidak memiliki pilihan yang menguntungkan bagi dirinya, bagi pilihan karirnya sendiri. Dengan demikian, ada harga yang harus mereka pertaruhkan bahkan korbankan demi posisinya sebagai First Lady.
Tetapi pandangan ini segera ditepis oleh Hillary yang segera menjalani karir di bidang politik dan bahkan karirnya semakin meningkat setelah terlepas dari jabatan First lady of America.
Ada satu contoh menarik yang bisa dijadikan perbandingan. Maria Owings Shriver, First lady dari California yang bersuamikan Gubernur California Arnold Schwarzenegger awalnya juga memilih untuk mengorbankan karirnya demi mendukung suaminya setelah terpilih menjadi Gubernur California. Ia hengkang dari dunia jurnalisme pertelevisian khususnya dari NBC News di tahun 2004, dunia yang dicintainya dan karir yang telah dibangunnya selama seperempat abad, oleh karena telah berstatuskan First lady of California, selain juga berperan sebagai tenaga advokasi dalam kepemerintahan suaminya. Selain itu juga, alasannya hengkang adalah ia ingin menjaga agar tidak terjadi isu conflict of interest.
Tetapi kecintaannya yang besar terhadap dunia jurnalisme ternyata tidak bisa ditinggalkannya begitu saja. Ia secara tegas menyatakan bahwa ia perlu menjadi dirinya sendiri dan melakukan apa yang dia kehendaki dan tak harus mengorbankan karir ataupun kegiatan-kegiatan yang disenanginya demi mendukung kepemerintahan suaminya ataupun menjalani protokoler sebagai First Lady. Shriver kemudian semakin giat sebagai aktivis dan juga aktif dalam beberapa acara televisi, kemudian tahun 2007 ia kembali bekerja di dunia berita televisi pada CNN. Selain itu dia juga secara berani menyatakan mendukung Senator Barack Obama sebagai presiden setelah beberapa hari sebelumnya suaminya Arnold S. telah menyatakan dukungannya terhadap Senator John McCain.
Keadaan yang dijalani Shriver dalam beberapa hal bisa dibilang cukup berbeda dengan Hillary dalam hal jalan hidup yang dipilih. Hillary bertahan dalam berbagai kritik dan tentangan terhadap suaminya, bahkan membela. Sehingga Hillary juga kerap mendapat kritikan dan kecaman dari berbagai pihak. Hillary menuai banyak kritik, khususnya dari para feminist, terutama dalam kasus perselingkuhan suaminya yang diketahui publik dan Hillary melakukan pembelaan serta tidak membenarkan adanya tuduhan perselingkuhan suaminya tersebut. Hillary Clinton menunjukkan dukungan dan kekuatan karakternya, ketika gosip perselingkuhan mengguncang reputasi Bill Clinton yang saat itu sedang berkampanye untuk pemilihan Presiden AS pada 1993. Kekuatan karakter yang sama kemudian kembali ia tunjukkan saat kasus perselingkuhan dengan Monica Lewinsky yang membuat Clinton terancam kehilangan jabatannya sebagai Presiden. Adalah pidato Hillary yang menyatakan bahwa dirinya memaafkan Clinton yang akhirnya membuat publik Amerika "mengampuni" Presiden Amerika ke-42 itu. Sikap Hillary tersebut bagi sebagian feminist dianggap sebagai sikap yang tidak mewakili perempuan modern dan berpendidikan tinggi.
Tragedy, penyangkalan, skandal, kekuasaan adalah isu-isu yang dihadapi oleh Hillary. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Hillary adalah sosok perempuan yang cerdas, ambisius, kuat, namun tabah menghadapi segala tantangan kehidupan. Terlepas dari semua itu, Hillary melakukan pilihan berdasarkan pertimbangannya sendiri, seperti dituliskan di dalam buku Hillary Rodham Clinton: Politician (Women of achievement) (Abrams, 2009) bahwa semua yang ia lakukan adalah berdasarkan “following her heart”.
Benar atau tidak keputusan yang diambilnya adalah jalan kehidupan yang dipilih untuk ditempuhnya sebagai suatu proses pengembangan diri. Hal tersebut bisa dikatakan tidak sia-sia. Ia mampu menjadi perempuan satu-satunya yang berhasil maju dalam pencalonan presiden, yang sangat sulit dilakukan di negara Amerika tersebut mengingat perempuan dalam banyak hal masih menjadi second class citizen meskipun di negara semaju Amerika Serikat sekalipun, sehingga tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh perempuan dalam hal berkarir jauh lebih besar dibanding laki-laki.
Sebagai public figure Hillary dicintai, dikagumi, tetapi juga dibenci oleh sebagian masyarakat Amerika. Tantangan dan permasalahan yang dihadapi di dalam kehidupannya membuat ia maju, menjadi perempuan yang kuat, mampu memiliki dan menggerakkan massa, suaranya didengar dan sosoknya diharapkan dapat memberikan kontribusi besar bagi perubahan dan perbaikan di segala bidang, khususnya mengenai isu perempuan dan hak asasi manusia.
Hillary, pada pemilihan presiden 2008 tidak sampai pada kursi kepresidenan AS, tetapi berhasil dipilih sebagai Sekretaris Negara. Hal ini adalah suatu pencapaian yang luar biasa hebatnya bagi seorang perempuan dan mantan First lady di negara superpower Amerika Serikat.
Perjuangan dalam hidup, karir, dan keluarga, seperti yang telah diutarakan sebelumnya, menggambarkan double standard dan double burden yang diemban sekaligus dijalani Hillary dalam statusnya sebagai perempuan yang berkarir. Sebagaimana yang dituliskan oleh Abrams (2009):
As Bill Clinton climbed the political
ladder, Hillary Clinton was with him every step of the way.
Constantly in the public eye, she has filled many roles: attorney,
wife, mother, activist, first lady of the United States,
political adviser, U.S. senator, and presidential candidate.
In 1988 and 1991, she was listed as one of the 100 most
influential lawyers in the United States. (p. 11)
Dengan demikian, Hillary pantaslah disebut sebagai icon, a powerful symbol of women’s achievement!

       Kutipan Pidato Visisoner Hillary

In Her Own Words:
Hillary Clinton has long been a proponent of women’s rights
and the role of women in government. In delivering the keynote
address at the Vital Voices Conference held in Vienna, Austria, in
July 1997, she said:
“We are here to advance the cause of women and to
advance the cause of democracy and to make it absolutely
clear that the two are inseparable. There cannot be true
democracy unless women’s voices are heard. There cannot
be true democracy unless women are given the opportunity
to take responsibility for their own lives.” (2009: 12)
***

As Clinton says in the opening paragraph of her autobiography:
“I wasn’t born a first lady or a senator. I wasn’t born
a Democrat. I wasn’t born a lawyer or an advocate
for women’s rights and human rights. I wasn’t born
a wife or mother. I was born an American in the
middle of the twentieth century, a fortunate time
and place. I was free to make choices unavailable to
past generations of women in my own country and
inconceivable to many women in the world today.” (2009: 13)
***
Smart Power
“We must use what has been called “smart power”: the full range of tools at our disposal -- diplomatic, economic, military, political, legal, and cultural -- picking the right tool, or combination of tools, for each situation. With smart power, diplomacy will be the vanguard of foreign policy. This is not a radical idea. The ancient Roman poet Terence, who was born a slave and rose to become one of the great voices of his time, declared that “in every endeavor, the seemly course for wise men is to try persuasion first.” The same truth binds wise women as well.” (http://www.state.gov/secretary/)
***

"I don't quit. I keep going." –Hillary Rodham Clinton (2004)

***

Referensi

Abrams, Dennis, 2009, Hillary Rodham Clinton: Politician (Women of Achievement), New York: Chelsea House Publications.
Andersen, Christopher, 2004, American Evita: Hillary Clinton’s Path to Power, Harper Collins, Inc.
http://www.state.gov/r/pa/ei/biog/115321.htm  Biography of Hillary Rodham Clinton: Secretary of State, accessed on 15 June, 2010
http://en.wikipedia.org/wiki/Maria_Shriver, accessed on 16 June, 2010